“Hianati.. sebisa dirimu menghianati”…
Begitulah
mungkin syair yang tepat untuk menggambarkan hatiku saat ini. Now, tentang
sebuah penghianatan yang bertubi-tubi. Ya, kata itu yang kini
kembali terngiang di telinga ku, bukan hanya di telinga, tapi di pikiranku dan
merambat jauh masuk kedalam hati terkecilku ku, bagian terpeka dalam tubuhku
yang meski tak pernah tersayat pisau tapi lukanya sudah cukup besar hingga tak
bisa lagi hanya di bilang ini terasa pedih. Aku lagi lagi harus dibingungkan
dengan sebuah persoalan yang cukup rumit menurutku, walaupun aku mencoba untuk
berhenti terlalu memikirkan sebuah masalah yang pada dasarnya tak akan pernah
berhenti saat aku masih menghembuskan napas, mengeluarkan CO2 dan
menghirup O2.